BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembelajaran merupakan
proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan
ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas
perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para
ilmuwan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang
penalaran deduktif (deductive reasoning).
Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang
spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi
spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya,
penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang
lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian
spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.Untuk
lebih jelasnya, akan kami bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan yang ada, maka penulis merumuskan masalah dengan pendekatan
sebagai berikut:
1. Apa esensi
pendekatan ilmiah?
2.
Bagaimana pendekatan ilmiah dan nonilmiah dalam pembelajaran?
3. Bagaimana
langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan Ilmiah?
C. Tujuan
Penulisan
Pada dasarnya makalah ini memiliki tujuan, yaitu:
1. Menjelaskan pengertian esensi pendekatan ilmiah
2. Mengetahui
pendekatan ilmiah dan nonilmiah dalam pengajaran
3. Mengetahui
langkah-langkah pembelajaran denagn pendekatan ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Esensi Pendekatan Ilmiah
Pembelajaran merupakan
proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan
ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas
perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para
ilmuwan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang
penalaran deduktif (deductive reasoning).
Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang
spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi
spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya,
penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang
lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian
spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk
pada teknik-teknik investigasi atas fenomena atau gejala, memperoleh
pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk
dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method
of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat
diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang
spesifik. Karena itu, metode
ilmiah umumnya memuat serial aktivitas pengoleksian data melalui observasi dan
ekperimen, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis.
2.2 Pendekatan Ilmiah dan
Nonilmiah dalam Pembelajaran
Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya
dibandingkan dengan pembelajaran tradidional. Hasil penelitian membuktikan
bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10
persen setelah lima belas menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25
persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari
guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses pembelajaran harus
dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini
bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan
penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus
dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1.
Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau
fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan
sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.
Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif
guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran
subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,
analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik
dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi
atau materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam
merespon substansi atau materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
dipertanggungjawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun
menarik sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran harus
terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah. Pendekatan
nonilmiah dimaksud meliputi semata-mata berdasarkan intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
1.
Intuisi. Intuisi sering
dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan
individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh
seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga
dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat
secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian,
intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik dan sistematik.
2.
Akal sehat. Guru dan
peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses
pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya
semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkan mereka dalam proses
dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3.
Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan
yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan orang (guru,
peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat
terlalu kuat didompleng kepentingan pelakunya, seringkali mereka
menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang
menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran
skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara
baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya,
jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4.
Penemuan coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba
seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian,
keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu
bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika
baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya dan bernilai
kreatifitas. Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan,
harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan
kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba
tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu
menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer
laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada
kepastian jawaban atas tombol dengan lambang
seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.
5.
Berpikir kritis. Kamampuan berpikir kritis itu ada pada
semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik
diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan
tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak
orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan
berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu
hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
2.3
Langkah-langkah
Pembelajaran dengan Pendekatan Ilmiah
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013
untuk jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat dilaksanakan menggunakan
pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan
ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi
ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.” Hasil akhirnya adalah peningkatan dan
keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik(soft skills)
dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard
skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam
pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud
meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan
mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau
situasi tertentu, sangat mungkin
pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada
kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan
nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau
sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini.
1. Mengamati
Metode
mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek
secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.
Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan
waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika
tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode
mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik.
Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode
observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang
dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan
mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti
berikut ini.
a.
Menentukan objek apa yang akan diobservasi
b.
Membuat pedoman observasi sesuai dengan
lingkup objek yang akan diobservasi
c.
Menentukan
secara jelas data-data apa yang
perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
d.
Menentukan di mana tempat objek yang akan
diobservasi
e.
Menentukan secara jelas bagaimana
observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
f.
Menentukan cara dan melakukan pencatatan
atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder,
video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan
keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus
memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
a. Observasi
biasa (common observation). Pada
observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek
yang sepenuhnya melakukan observasi (complete
observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan
pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
b. Observasi
terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, pada
observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali
tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka
juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi
terkendali pelaku atau objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi
yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali
termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen
atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
c. Observasi
partisipatif (participant observation).
Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung
dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling
lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi
semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas,
atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan
pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat
subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari
bahasa atau dialek setempat, termasuk melibakan diri secara langsung dalam
situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta didik
dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan
dimaksud yaitu observasi berstruktur dan
observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
a. Observasi
berstruktur. Pada observasi berstruktur
dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang
ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis
di bawah bimbingan guru.
b. Observasi
tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses
pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus
diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat
catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek,
objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran hanya
akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan
alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk
merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara
visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara
audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam melakukan
observasi, dapat berupa daftar cek (checklist),
skala rentang (rating scale), catatan
anekdotal (anecdotal record), catatan
berkala, dan alat mekanikal (mechanical
device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama
subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang ,
berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan
anecdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai
kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang
diobservasi. Alat mekanikal berupa alat
mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa
tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan
oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut
ini.
a. Cermat,
objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk
kepentingan pembelajaran.
b. Banyak
atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi
yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang
diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu
dilakukan. Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru dan peserta didik
sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
c. Guru
dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan
sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.
2.
Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi
peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing
atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab
pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk
menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan
tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal.
Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga
dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.
Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk
pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
a. Fungsi
bertanya
§ Membangkitkan
rasa ingin tahu, minat, dan perhatian
peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
§ Mendorong
dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan
pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
§ Mendiagnosis
kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari
solusinya.
§ Menstrukturkan
tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan
sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang
diberikan.
§ Membangkitkan
keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi
jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
§ Mendorong
partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan
berpikir, dan menarik simpulan.
§ Membangun
sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan,
memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup
berkelompok.
§ Membiasakan
peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang
tiba-tiba muncul.
§ Melatih
kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama
lain.
b. Kriteria
pertanyaan yang baik
§ Singkat
dan jelas. Contoh: (1) Seberapa jauh
pemahaman Anda mengenai faktor-faktor yang menyebabkan generasi muda terjerat
kasus narkotika dan obat-obatan terlarang? (2) Faktor-faktor apakah yang
menyebabkan generasi muda terjerat kasus narkotika dan obat-obatan terlarang?
Pertanyaan kedua lebih singkat dan lebih jelas dibandingkan dengan pertanyaan
pertama.
§ Menginspirasi
jawaban. Contoh: Membangun semangat kerukunan umat beragama
itu sangat penting pada bangsa yang multiagama. Jika suatu bangsa gagal
membangun semangat kerukukan beragama, akan muncul aneka persoalan sosial
kemasyarakatan. Coba jelaskan dampak sosial apa saja yang muncul, jika suatu
bangsa gagal membangun kerukunan umat beragama? Dua kalimat yang mengawali
pertanyaan di muka merupakan contoh yang diberikan guru untuk menginspirasi
jawaban peserta menjawab pertanyaan.
§ Memiliki
fokus. Contoh: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan? Untuk
pertanyaan seperti ini sebaiknya masing-masing peserta didik diminta
memunculkan satu jawaban. Peserta didik pertama hingga kelima misalnya
menjawab: kebodohan, kemalasan, tidak memiliki modal usaha, kelangkaan sumber
daya alam, dan keterisolasian geografis. Jika masih tersedia alternatif jawaban
lain, peserta didik yang keenam dan seterusnya, bisa dimintai jawaban.
Pertanyaan yang luas seperti di atas dapat dipersempit, misalnya: Mengapa kemalasan menjadi penyebab
kemiskinan? Pertanyaan seperti ini dimintakan jawabannya kepada peserta
didik secara perorangan.
§ Bersifat
probing atau divergen. Contoh: (1) Untuk
meningkatkan kualitas hasil belajar, apakah peserta didik harus rajin belajar?
(2) Mengapa peserta didik yang sangat malas belajar cenderung menjadi putus
sekolah? Pertanyaan pertama cukup dijawab oleh peserta didik dengan Ya atau Tidak.
Sebaliknya, pertanyaan kedua menuntut jawaban yang bervariasi urutan jawaban
dan penjelasannya, yang kemungkinan memiliki bobot kebenaran yang sama.
§ Bersifat
validatif atau penguatan. Pertanyaan dapat diajukan dengan cara meminta kepada
peserta didik yang berbeda untuk menjawab pertanyaan yang sama. Jawaban atas
pertanyaan itu dimaksudkan untuk memvalidasi atau melakukan penguatan atas
jawaban peserta didik sebelumnya. Ketika beberapa orang peserta didik telah
memberikan jawaban yang sama, sebaiknya guru menghentikan pertanyaan itu atau
meminta mereka memunculkan jawaban yang lain yang berbeda, namun sifatnya menguatkan.
§ Memberi
kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang. Untuk menjawab pertanyaan dari
guru, peserta didik memerlukan waktu yang cukup untuk memikirkan jawabannya dan
memverbalkannya dengan kata-kata. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan,
guru hendaknya menunggu beberapa saat sebelum meminta atau menunjuk peserta
didik untuk menjawab pertanyaan itu.
§ Merangsang
peningkatan tuntutan kemampuan kognitif. Pertanyaan guru yang baik membuka
peluang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang makin
meningkat, sesuai dengan tuntunan tingkat kognitifnya. Guru mengemas atau
mengubah pertanyaan yang menuntut jawaban dengan tingkat kognitif rendah ke
makin tinggi, seperti dari sekadar mengingat fakta ke pertanyaan yang menggugah
kemampuan kognitif yang lebih tinggi,
seperti pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kata-kata kunci
pertanyaan ini, seperti: apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya.
§ Merangsang
proses interaksi. Pertanyaan guru yang baik mendorong munculnya interaksi dan
suasana menyenangkan pada diri peserta didik.Dalam kaitan ini, setelah
menyampaikan pertanyaan, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik
mendiskusikan jawabannya. Setelah itu, guru memberi kesempatan kepada seorang
atau beberapa orang peserta didik diminta menyampaikan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Pola bertanya seperti ini memposisikan guru sebagai wahana pemantul.
c.
Tingkatan Pertanyaan
Pertanyaan guru yang baik dan benar menginspirasi peserta didik
untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula. Guru harus memahami kualitas
pertanyaan, sehingga menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang akan
disentuh, mulai dari yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi.
3. Menalar
a.
Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran
dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan
bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam
banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses
berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat
diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud
merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak
bermanfaat.
Istilah menalar di sini
merupakan padanan dari associating;
bukan merupakan terjemanan dari reasonsing,
meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah
aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan
pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran
asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan
mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian
memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa
khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan
dalam ruang dan waktu.
b.
Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara menalar, yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif
merupakan cara menalardengan menarik simpulan dari fenomena atau
atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara
induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata
secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum.Kegiatan
menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau
pengalaman empirik.
Contoh:
v Singa
binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
v Harimau
binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
v Ikan
Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan
v Simpulan:
Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Penalaran
deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari
pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang
bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme. Cara
kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Ada
tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis,
silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat premis, sebagai proposisi
menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan melalui dua cara,
yaitu langsung dan tidak langsung.
Simpulan secara langsung ditarik dari satu premis, sedangkan simpulan tidak
langsung ditarik dari dua premis.
Contoh
:
v Kamera
adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
v Telepon
genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
v Simpulan:
semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
c. Analogi
dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan peserta didik sering kali
menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan
demikian, guru dan peserta didik adakalanya menalar secara analogis. Analogi
adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan
sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir
analogis sangat penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam
daya nalar peserta didik. Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua
jenis, yaitu analogi induktif dan analogi deduktif. Kedua analogi itu
dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua
fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena itu ditarik
simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama terjadi juga pada
fenomena atau gejala kedua. Analogi induktif merupakan
suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu simpulan yang
dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua
fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan
merupakan pebelajar yang tekun. Dia lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat
Nasional tahun ini. Dengan demikian, tahun ini juga,Peserta didik Pulan akan
mengikuti kompetisi pada Olimpiade Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia
harus belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan suatu“metode menalar” untuk
menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum dikenal
atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.Analogi
deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala
menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang
sudah dketahui secara nyata dan dipercayai
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan
akan berjalan baik jika terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru,
staf tatalaksana, pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta
didik. Seperti halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik
diperlukan sinergitas antara ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
d. Hubungan
Antarfenomena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan menghubungkan
antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses pembelajaran, karena hal
itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di sinilah esensi bahwa guru dan
peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan antarfenonena atau gejala,
khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan
sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu
dengan datu atau beberapa fakta yang lain.Suatu simpulan yang menjadi sebab
dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satuatau
beberapa fakta tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran induktif,
yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran induksi sebab
akibat terdiri dri tiga jenis.
§
Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran hubungan sebab-akibat,
hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu, kemudian ditarik
simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar
tekun, berdoa, dan tidak putus asa adalah faktor pengungkit yang bisa membuat kita mencapai puncak kesuksesan.
§
Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran hubungan akibat-sebab,
hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya ditarik
simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat
marak kenakalan remaja, angka putus sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan
generasi muda, perkelahian antarpeserta didik, yang disebabkan oleh pengabaian
orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh masyarakat, sehingga mengalami
dekandensi moral secara massal.
§
Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran hubungan
sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu penyebab
dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab,
sehingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga
menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di
daerah terpencil, hidupnya terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka
kehilangan akses untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah
kemiskinan keluarga yang akut. Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan
anak-anak mereka tidak berkesempatan menempuh pendidikan yang baik. Dampak
lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi kemiskinan yang terus berlangsung
secara siklikal.
4. Mencoba
Untuk memperoleh hasil
belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan
percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata
pelajaran IPA, misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep
IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus
memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam
sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen
atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar,
yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata
untuk ini adalah:
(1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar
menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan
yang tersedia dan harus disediakan; (3) mempelajari dasar
teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan
mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan
menyajikan data;(6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan
eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan
perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4)
Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru
membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi
kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan
guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap
perlu didiskusikan secara klasikal.
Kegiatan pembelajaran
dengan pendekatan eksperimen atau mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu,
persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan eksperimen atau
mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a.
Persiapan
§
Menentapkan tujuan eksperimen
§
Mempersiapkan alat atau bahan
§
Mempersiapkan tempat eksperimen sesuai dengan jumlah peserta
didikserta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru
perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen atau mencoba secara
serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau bergiliran
§
Memertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan
agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin timbul
§
Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan
dan tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal yang dilarang
atau membahayakan.
b.
Pelaksanaan
§
Selama proses eksperimen atau mencoba,
guru ikut
membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi
oleh peserta
didik agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
§
Selama proses eksperimen atau mencoba,
guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu
mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan
pembelajaran.
c.
Tindak lanjut
a.
Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada
guru
b.
Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
c.
Guru memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil
eksperimen.
d.
Guru dan peserta didik mendiskusikan
masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
e.
Guru dan peserta didik memeriksa dan menyimpan
kembali segala bahan dan alat yang digunakan
5. Jejaring
Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif
Apa yang dimaksud dengan
pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat
personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas
sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup
manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai
struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk
memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran
kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer
belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai
satu falsafah pribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik
terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru.
Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara
semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi
aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif.
Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik.
Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama
proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran
kolaboratif.
a.
Guru dan peserta didik saling berbagi
informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak
untuk menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa
komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta
menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru
lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi
dan mengawasi secara rijid.
Contoh:
Jika guru
mengajarkan topik “hidup bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu
pada sesi pembelajaran, berbagi idea, dan memberi garis-garis besar arus
komunikasi antar peserta didik. Jika peserta didikmemahami dan melihat fenomena
nyata kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya dihargai
dan dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka. Mereka pun akan termotivasi
untuk melihat dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan
antara proses pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.
b.
Berbagi tugas dan kewenangan. Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan
peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta
didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan informasi,
menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam
pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil
peran secara terbuka dan bermakna.
c.
Guru sebagai mediator. Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau
perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi baru dengan
pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan
dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk
belajar.
d. Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk
memperkaya pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didik dapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi
informasi, serta mendengar atau membahas sumbangan
informasi dari peserta didik lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan ilmiah diyakini
sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena
unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas fenomena
atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan
pengetahuan sebelumnya. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi
pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati,
menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua
mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah
ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural.
0 komentar:
Posting Komentar